Cari Blog Ini

Jumat, 11 Desember 2015

“Haleluya”, “Hosiana”, dan “Maranatha”



Kata “haleluya”, “hosiana”, dan “maranatha” adalah 3 kata yang paling sering muncul dalam liturgi. Dalam kebiasaan GKP, kata ini dinyanyikan sebagai respon setelah pembacaan Alkitab dalam kebaktian Minggu [dan kadang dalam kebaktian-kebaktian lain], ataupun sebagai respon atas berkat yang dipadukan bersama kata ‘Amin’. Namun, tahukah kita apa arti dari masing-masing kata tersebut? Atau masih menganggapnya sebagai kata dengan arti/makna yang sama?


Haleluya
Kata ‘haleluya’ (atau kadangkala ditulis ‘haleluyah’) berasal dari bahasa Ibrani, yakni dari suku kata ‘halal’ (puji) dan ‘Yahweh’ (dari tetragram YHWH yang diterjemahkan dalam Alkitab sebagai “TUHAN”). Secara sederhana, kata ‘haleluya’ diterjemahkan sebagai “Puji TUHAN”.
Kata ‘haleluya’ ini memiliki nuansa yang sebanding dengan kata ‘alhamdulillah’ dalam bahasa Arab. Kata alhamdulillah’ sendiri berasal dari suku kata ‘al’  (segala), ‘hamad’ (puji/yang baik), dan ‘allah’ (Allah), yang secara sederhana berarti “segala puji bagi-[Mu] Allah”.
Kapankah kata ‘haleluya’ digunakan sebagai respon dalam liturgi? Kata ‘haleluya’ digunakan di kebaktian-kebaktian selain di masa Advent dan masa sengsara. Sikap respon yang diharapkan dalam liturgi tentulah bernuansa gembira dan semangat sebagaimana seseorang sedang menyatakan syukurnya kepada Tuhan. Oleh sebab itu, di beberapa gereja, musik dan tempo untuk respon dengan kata ‘haleluya’ seringkali dibuat sedikit lebih cepat dan style semangat.


Hosiana
Hosiana (atau kadangkala ditulis hosana/hoshana/hosyana) berasal dari bahasa Ibrani, yakni dari suku kata ‘hosha’  (tolong) dan ‘ana’ (saya). Secara sederhana, kata ‘hosiana’ diterjemahkan sebagai “tolonglah kami”. Kata ini muncul dalam Alkitab, pada kisah Yesus yang dielu-elukan saat memasuki Yerusalem dengan menunggang keledai. Orang-orang berteriak ‘hosiana’ sebagai bentuk pengharapan mereka akan kehadiran seorang Raja Israel yang akan membebaskan mereka dari penjajahan Romawi pada waktu itu. Oleh sebab itu, saat Yesus melewati Yerusalem, orang banyak bersorak girang menantikan kehadiran ‘raja’ yang baru itu sembari menyampaikan ‘keluh-kesah’ mereka.
Kapankah kata ‘hosiana’ digunakan sebagai respon dalam liturgi? Kata ‘hosiana’ digunakan pada kebaktian dalam masa raya minggu sengsara. Sembari menghayati keberadaan diri yang lemah dan terbatas layaknya debu/abu, umat diajak menghayati dirinya adalah manusia yang senantiasa membutuhkan dan menantikan pertolongan Allah dalam hidupnya.


Maranatha
Kata ‘maranatha’ berasal dari bahasa Yunani yang berarti “Tuhan datanglah!”. Kata ini digunakan sebagai ungkapan pengharapan/penantian akan kedatangan Tuhan Yesus. Dalam liturgi, kata ini digunakan dalam kebaktian di masa Advent. Ungkapan ‘maranatha’ erat dengan penghayatan kedatangan Yesus yang kedua kalinya. Tetapi, kata ini juga bisa dimaknai dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk ‘kebutuhan’ akan kehadiran Allah untuk juga berperkara dalam setiap hal yang dijumpai.

...Saat harus memilih: ‘Yang Benar’ vs ‘Yang Tenar’...




Jika berbicara menjadi pemimpin yang ideal, pastilah membayangkan seorang pemimpin yang bisa berada pada posisi dan mengambil keputusan yang benar sekaligus digemari oleh orang-orang yang dipimpinnya. Singkat kata, menjadi pemimpin yang benar dan tenar. Namun, berbicara realita di lapangan, maka sangat sering dijumpai pilihan yang membuat seseorang bimbang dalam menjawab panggilan/tanggung-jawabnya. Saat seorang pemimpin tahu sesuatu yang ‘benar’ tetapi juga tahu bahwa hal itu akan membuatnya tidak lagi ‘tenar’ bahkan mungkin akan menuai cemooh dan benci.
Untuk sebagian orang, terucaplah kalimat diplomatis “pakailah cara yang tepat/bijaksana sehingga keduanya tetap terbangun” tetapi kalimat ini sendiri seringkali salah dimaknai sehingga yang terjadi adalah ‘permakluman’ atau bahkan ‘pembiaran’ akan sesuatu yang sudah jelas ia tahu “keliru”. Tentu bukan berarti tidak ada orang yang berhasil seperti demikian dan bukan berarti menafikan adanya cara yang demikian, tetapi tetap juga harus disadari bahwa ada saatnya pilihan tegas ini terjadi. Ada yang kadarnya begitu kuat sehingga saat menentukan pilihan, maka seseorang akan langsung berada dalam posisi ‘terancam’ ketenarannya, tetapi ada juga yang kadarnya ringan sehingga membuat adanya suatu ‘jarak’ dengan orang yang dipimpinnya.

Nah, bagaimana dengan posisi seorang hamba Allah, baik seorang pendeta jemaat, vikaris, teolog, misionaris, atau apapun itu? Berkaca dari firman Allah dalam II Tawarikh 18, kita bisa melihat contoh jelas bahwa seorang hamba Allah bisa saja berhadapan dengan pilihan yang sulit. Pilihan yang sangat berbeda dengan orang kebanyakan di sekitarnya. Bukan semata ingin menjadi anti-mainstream tetapi karena tahu bahwa dirinya harus berada di posisi yang benar. Mikha bin Yimla harus berhadapan dengan ‘kebencian’ dari Ahab sang Raja Israel karena ia berada di posisi yang berbeda dengan 400 orang nabi lainnya. Ia tahu betul bahwa ada yang ‘keliru’ dengan nubuatan yang disampaikan dan ia tahu betul akan akibat dari keputusan yang diambil oleh para nabi palsu tersebut. Namun, apakah ia kemudian menjadi patah arang dan kemudian memutuskan untuk menjadi ‘sama’ dan terbawa arus [atau dengan kata lain “pembiaran]? NO !! Mikha tetaplah berdiri tegak untuk menyatakan apa yang benar. Mikha tetap memegang teguh panggilannya untuk menyampaikan kebenaran sekalipun harga yang harus dibayar adalah dirinya sendiri yang harus dibenci oleh orang di sekitarnya.



Hamba Allah – siapapun dia – dipanggil Allah untuk menyatakan kebenaran [Firman]. Ia yang telah menyatakan kesediaan da komitmennya berarti telah tahu dan siap untuk menerima konsekuensi bahwa dalam perjalanan pelayanannya, ia akan berjumpa dengan pilihan yang demikian, menjadi “benar” atau “tenar”. Memang betul, bahwa kadangkala ketenaran bisa menjadi jalan bagi seseorang untuk menyatakan kebenaran. Akan tetapi, manakala kebenaran yang harus disampaikan bukanlah sesuatu yang populis, pertanyaannya “siapkah berada di posisi yang benar?” [D&]

Kamis, 10 Desember 2015

Berkatku... [pun] Berkatmu !!



Lim Ivenina Natasya menuliskan refleksinya di Renungan Harian dengan judul “Syukurlah Bukan Saya”. Dalam renungannya, Lim mengingatkan saya pada suatu kenangan saat saya melakukan perjalanan dengan kereta api dari Yogya menuju Bandung (tujuan akhir sebenarnya adalah Karawang). Dalam perjalanan, saya membaca berita dan mengetahui bahwa di jalur utara (jalur Yogya-Cirebon-Jakarta) terjadi kecelakaan kereta. Sontak saya bergirang dan berseru “Puji Tuhan, untung lewat jalur selatan”. Namun terkejut, di tengah rasa girang saya ini, seorang teman menegur dengan kalimat sederhana, “teologimu kok jadi begitu sih, Dan? Mbok pikir, sing Puji Tuhan mung sing selamet?” Tersentak! Apakah berkat melulu hanya pada saat ada “keselamatan fisik” dari kacamata kita?




Betul, sering kali kita menjadi orang-orang yang egois yang hanya bersyukur saat ada hal baik terjadi pada kita. Kadang kita melupakan atau tidak peduli manakala di tengah kesukaan yang kita alami, ternyata ada orang lain yang mengalami kedukaan. Persis seperti yang direfleksikan oleh Lim, bahwa kita hanya peduli dan bersyukur karena ‘untung bukan saya!’. Seolah-olah hendak mengatakan, “Peduli amat musibahmu! Musibahmu adalah berkat buatku!”

Mengutip nas yang sama dengan yang dikutip oleh Lim Ivenina, bukankah iman Kristen mengingatkan kita untuk “bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” (Roma 12:15). Seorang Kristen seharusnya bisa berkata, “Puji Tuhan, karena berkatku adalah juga berkatmu” bahkan melampaui itu semua, kita mampu mengajak diri kita dan orang lain untuk menghayati bahwa “musibahmu adalah juga kebaikan Tuhan, dan mari kita merasakan kebaikan Tuhan bersama”. Tidak meninggalkan orang lain,, sebagai SAHABAT...