Jika berbicara menjadi
pemimpin yang ideal, pastilah membayangkan seorang pemimpin yang bisa berada
pada posisi dan mengambil keputusan yang benar sekaligus digemari oleh
orang-orang yang dipimpinnya. Singkat kata, menjadi pemimpin yang benar dan
tenar. Namun, berbicara realita di lapangan, maka sangat sering dijumpai
pilihan yang membuat seseorang bimbang dalam menjawab
panggilan/tanggung-jawabnya. Saat seorang pemimpin tahu sesuatu yang ‘benar’
tetapi juga tahu bahwa hal itu akan membuatnya tidak lagi ‘tenar’ bahkan
mungkin akan menuai cemooh dan benci.
Untuk sebagian orang,
terucaplah kalimat diplomatis “pakailah cara yang tepat/bijaksana sehingga
keduanya tetap terbangun” tetapi kalimat ini sendiri seringkali salah dimaknai
sehingga yang terjadi adalah ‘permakluman’ atau bahkan ‘pembiaran’ akan sesuatu
yang sudah jelas ia tahu “keliru”. Tentu bukan berarti tidak ada orang yang
berhasil seperti demikian dan bukan berarti menafikan adanya cara yang
demikian, tetapi tetap juga harus disadari bahwa ada saatnya pilihan tegas ini
terjadi. Ada yang kadarnya begitu kuat sehingga saat menentukan pilihan, maka
seseorang akan langsung berada dalam posisi ‘terancam’ ketenarannya, tetapi ada
juga yang kadarnya ringan sehingga membuat adanya suatu ‘jarak’ dengan orang yang
dipimpinnya.
Nah, bagaimana dengan posisi
seorang hamba Allah, baik seorang pendeta jemaat, vikaris, teolog, misionaris,
atau apapun itu? Berkaca dari firman Allah dalam II Tawarikh 18, kita bisa
melihat contoh jelas bahwa seorang hamba Allah bisa saja berhadapan dengan
pilihan yang sulit. Pilihan yang sangat berbeda dengan orang kebanyakan di
sekitarnya. Bukan semata ingin menjadi anti-mainstream
tetapi karena tahu bahwa dirinya harus berada di posisi yang benar. Mikha bin
Yimla harus berhadapan dengan ‘kebencian’ dari Ahab sang Raja Israel karena ia
berada di posisi yang berbeda dengan 400 orang nabi lainnya. Ia tahu betul
bahwa ada yang ‘keliru’ dengan nubuatan yang disampaikan dan ia tahu betul akan
akibat dari keputusan yang diambil oleh para nabi palsu tersebut. Namun, apakah
ia kemudian menjadi patah arang dan kemudian memutuskan untuk menjadi ‘sama’
dan terbawa arus [atau dengan kata lain “pembiaran]? NO !! Mikha tetaplah
berdiri tegak untuk menyatakan apa yang benar. Mikha tetap memegang teguh panggilannya
untuk menyampaikan kebenaran sekalipun harga yang harus dibayar adalah dirinya
sendiri yang harus dibenci oleh orang di sekitarnya.
Hamba Allah – siapapun dia –
dipanggil Allah untuk menyatakan kebenaran [Firman]. Ia yang telah menyatakan
kesediaan da komitmennya berarti telah tahu dan siap untuk menerima konsekuensi
bahwa dalam perjalanan pelayanannya, ia akan berjumpa dengan pilihan yang
demikian, menjadi “benar” atau “tenar”. Memang betul, bahwa kadangkala
ketenaran bisa menjadi jalan bagi seseorang untuk menyatakan kebenaran. Akan
tetapi, manakala kebenaran yang harus disampaikan bukanlah sesuatu yang
populis, pertanyaannya “siapkah berada di posisi yang benar?”
[D&]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar