Cari Blog Ini

Jumat, 11 Desember 2015

...Saat harus memilih: ‘Yang Benar’ vs ‘Yang Tenar’...




Jika berbicara menjadi pemimpin yang ideal, pastilah membayangkan seorang pemimpin yang bisa berada pada posisi dan mengambil keputusan yang benar sekaligus digemari oleh orang-orang yang dipimpinnya. Singkat kata, menjadi pemimpin yang benar dan tenar. Namun, berbicara realita di lapangan, maka sangat sering dijumpai pilihan yang membuat seseorang bimbang dalam menjawab panggilan/tanggung-jawabnya. Saat seorang pemimpin tahu sesuatu yang ‘benar’ tetapi juga tahu bahwa hal itu akan membuatnya tidak lagi ‘tenar’ bahkan mungkin akan menuai cemooh dan benci.
Untuk sebagian orang, terucaplah kalimat diplomatis “pakailah cara yang tepat/bijaksana sehingga keduanya tetap terbangun” tetapi kalimat ini sendiri seringkali salah dimaknai sehingga yang terjadi adalah ‘permakluman’ atau bahkan ‘pembiaran’ akan sesuatu yang sudah jelas ia tahu “keliru”. Tentu bukan berarti tidak ada orang yang berhasil seperti demikian dan bukan berarti menafikan adanya cara yang demikian, tetapi tetap juga harus disadari bahwa ada saatnya pilihan tegas ini terjadi. Ada yang kadarnya begitu kuat sehingga saat menentukan pilihan, maka seseorang akan langsung berada dalam posisi ‘terancam’ ketenarannya, tetapi ada juga yang kadarnya ringan sehingga membuat adanya suatu ‘jarak’ dengan orang yang dipimpinnya.

Nah, bagaimana dengan posisi seorang hamba Allah, baik seorang pendeta jemaat, vikaris, teolog, misionaris, atau apapun itu? Berkaca dari firman Allah dalam II Tawarikh 18, kita bisa melihat contoh jelas bahwa seorang hamba Allah bisa saja berhadapan dengan pilihan yang sulit. Pilihan yang sangat berbeda dengan orang kebanyakan di sekitarnya. Bukan semata ingin menjadi anti-mainstream tetapi karena tahu bahwa dirinya harus berada di posisi yang benar. Mikha bin Yimla harus berhadapan dengan ‘kebencian’ dari Ahab sang Raja Israel karena ia berada di posisi yang berbeda dengan 400 orang nabi lainnya. Ia tahu betul bahwa ada yang ‘keliru’ dengan nubuatan yang disampaikan dan ia tahu betul akan akibat dari keputusan yang diambil oleh para nabi palsu tersebut. Namun, apakah ia kemudian menjadi patah arang dan kemudian memutuskan untuk menjadi ‘sama’ dan terbawa arus [atau dengan kata lain “pembiaran]? NO !! Mikha tetaplah berdiri tegak untuk menyatakan apa yang benar. Mikha tetap memegang teguh panggilannya untuk menyampaikan kebenaran sekalipun harga yang harus dibayar adalah dirinya sendiri yang harus dibenci oleh orang di sekitarnya.



Hamba Allah – siapapun dia – dipanggil Allah untuk menyatakan kebenaran [Firman]. Ia yang telah menyatakan kesediaan da komitmennya berarti telah tahu dan siap untuk menerima konsekuensi bahwa dalam perjalanan pelayanannya, ia akan berjumpa dengan pilihan yang demikian, menjadi “benar” atau “tenar”. Memang betul, bahwa kadangkala ketenaran bisa menjadi jalan bagi seseorang untuk menyatakan kebenaran. Akan tetapi, manakala kebenaran yang harus disampaikan bukanlah sesuatu yang populis, pertanyaannya “siapkah berada di posisi yang benar?” [D&]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar